HASIL
TIDAK PERNAH MENGKHIANATI PROSES
Oleh: Maria Yasinta Datu, S.Pd
“Hidup adalah
sesuatu yang bergerak. Kekuatan manusia bukan sesuatu yang statis. Tuhan
menganugerahkan segala fitur pembangkit keberhasilan dalam tubuh dan pikiran
kita
(Merry Riana).”
menjadi seorang guru Sekolah
Dasar Swasta Katolik di Perawang
Provinsi Riau. Aku berasal dari
Flores Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejak lulus kuliah PGSD aku ditempatkan di
kota Perawang. Menjadi guru di tanah rantau bukanlah hal yang mudah bagiku
bahkan mungkin bagi sebagian orang. Mengapa tidak? Aku harus bisa beradaptasi
dengan berbagai aspek kehidupan di tanah orang. Mulai dari suku, bahasa, cara
hidup, dan juga dialekku dalam berbicara. Dialek berbicara orang Indonesia
Timur yang mungkin menurut sebagian orang itu keras atau kasar sangat berbeda
dengan dialek suku Jawa, Melayu, Minang, Nias, dan juga Batak. Dengan begitu
aku harus menyesuaikan diri dengan keadaan seperti itu. Namun kalau boleh
jujur, walaupun dialek kami orang Indonesia Timur seperti itu tetapi didalamnya
terkandung nilai kejujuran dan ketegasan. Perlahan-lahan aku pun bisa masuk ke
dalam pergaulan dimana aku berkarya.
Guru adalah diguguh dan ditiru.
Kalimat itulah yang selalu terngiang dalam telingaku manakala aku mulai letih
bahkan bosan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Rutinitas mengajar dalam kelas
dan menyelesaikan seabrek administrasi pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum.
Itu semua adalah tugas yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Tetapi dalam
perjalanan waktu, jika hal itu-itu saja yang dilakukan maka seorang guru tidak
akan berkembang. Maka aku pun berpikir untuk keluar dari zona nyaman. Di
sekolah tempat aku mengabdikan diri ada beberapa kegiatan pengembangan diri
siswa; diantaranya kegiatan ekstrakurikuler. Beberapa kegiatan ekstrakurikuler
yang kugeluti adalah sebagai pembimbing ekstarakurikuler paduan suara,
pembimbing olimpiade IPA, pembimbing
olimpiade PPKn, bahkan pembimbing vokal solo untuk persiapan FLS2N.
Kegiatan-kegiatan ini merupakan sarana bagiku untuk meningkatkan mutu guru
menjadi guru yang profesional.
Aku sadar bahwa wawasanku masih sangat
minim bahkan dari segi pengalaman menjadi pembimbing olimpiade aku bukan
apa-apa. Ilmuku minim sekali dibanding pembimbing olimpiade dari sekolah lain
yang sudah menasional prestasinya. Rasa minder dan ragu timbul dalam diriku
jika berhadapan dengan sekolah yang lain dalam ajang perlombaan O2SN, FLS2N,
bahkan jenis-jenis olimpiade yang diselenggarakan oleh beberapa Universitas
ternama di Provinsi Riau. Aku hanya berdoa dalam hati agar anak-anak
bimbinganku bisa mengikuti lomba dengan baik, syukur jika juara. Itu adalah
bonus dari Tuhan.
Beberapa kali anak-anak didik dari
sekolah kami mengikuti ajang perlombaan baik akademis maupun non akademis.
Untuk bidang akademis anak didik dari sekolah kami mengikuti seleksi O2SN IPA
mulai dari tingkat kecamatan sampai ke tingkat selanjutnya. Hasil dari seleksi
tersebut anak-anak didik ada yang lolos seleksi kecamatan, kemudian mengikuti
seleksi kabupaten. Namun, aku harus berjuang lebih lagi dalam membimbing
anak-anak didik tersebut karena tidak sampai ke tingkat provinsi. Sampai saat
ini aku masih terus belajar dan belajar dari berbagai sumber referensi buku
yang berhubungan dengan olimpiade IPA. Tak pelak di atas meja kerjaku banyak
sekali tumpukan buku mulai dari buku referensi SD sampai buku-buku SMP pun saya
pelajari. Aku tidak mau terlihat kaku dan bodoh di depan anak didikku.
Setidaknya ada sedikit tambahan ilmu yang masuk ke pikiranku. Belajar tidak
harus dari buku saja, aku juga tidak sungkan untuk bertanya trik-trik jitu dari
rekan-rekan guru pembimbing olimpiade sekolah lain terutama pada sekolah yang
sudah menasional. Puji Tuhan, aku mendapatkan teman guru pembimbing dari
sekolah lain yang sangat baik mau berbagi bahkan kami sharing tentang soal-soal
olimpiade IPA. Untuk menambah wawasan di bidang olimpiade IPA kami juga sering
mmengikuti perlombaan yang diadakan beberapa univeritas ternama di Pekanbaru,
terkadang memperoleh hasil yang memuaskan, kadang juga kami harus berbesar hati
jika kami tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Bukan hanya di bidang
akademis, dalam non akademis seperti FLS2N untuk cabang vocal solo kami juga menorehkan hasil yang cukup
membanggakan walaupun hanya sampai tingkat provinsi. Kegagalan-kegagalan yang
aku peroleh dalam olimpiade tidak membuatku menyerah begitu saja.
Suatu hari aku melepaskan penatku di
sebuah gramedia di kota Pekanbaru. Aku menyusuri setiap lorong dan etalase buku
mulai dari karya fiksi, non fiksi, bahkan gabungan keduanya. Terhenti aku di
sebuah lorong dan mataku tertuju kepada sebuah buku yang berisi tentang
perjuangan seorang motivator favoritku. Tak berpikir lama tanganku pun langsung
meraih buku itu dan membalikkan ke halaman sinopsisnya. Kubaca dan hatiku
bergumam; ”Luar biasa isi buku ini, aku harus membelinya.” Aku menuju kasir dan
membayar buku tersebut. Aku mencari pojok baca di gramedia tersebut yang
menurutku tempat ternyaman disitu, kududuk bersimpuh sembari mebaca buku kisah
hidup Merry Riyana yang sangat menggugah hatiku. Selembar demi selembar
kubaca,aku tersontak pada sebuah kutipan
kalimat yang menurutku tepat sekali sebagai kata-kata motivasi bagiku. “Hidup adalah sesuatu yang bergerak.
Kekuatan manusia bukan sesuatu yang statis. Tuhan menganugerahkan segala fitur
pembangkit keberhasilan dalam tubuh dan pikiran kita.” Sesaat aku mencoba
untuk mencerna kutipan tersebut sambil menginstropeksikan diri sendiri. Satu
makna yang ku tangkap bahwa dalam hidup ini semua orang pasti akan berhasil.
Tuhan sudah menganugerahkan talenta keberhasilan dalam hidup setiap insan,
tinggal bagaimana talenta keberhasilan itu dapat kita kembangkan tergantung
kepada manusianya. Apakah hidup itu hanya diisi dengan sesuatu yang tidak
bermanfaat atau pasrah pada keadaan? Kutipan dari sang motivator handal inilah
yang menggugah hatiku untuk menghasilkan sesuatu yang bermutu dan ada
kebermanfaatan bagi orang lain. Apa itu? Aku juga belum tahu. Namun tekad itu
sudah ada.
Pertengahan Januari 2019, dua orang
mahasiswa dari Universitas Riau berkunjung ke sekolah tempatku bertugas. Mereka
membawa brosur undangan olimpiade PPKn -8. Brosur itu kuserahkan kepada kepala
sekolah. Kepala sekolahku bertanya: “Apakah kita akan mengikutinya?” Aku pun
menjawab: “Jika ibu memberikan kepercayaan, maka saya bersedia untuk membimbing
anak-anak untuk mengikuti olimpiade tersebut.” Kemudian kepala sekolahku
menyetujuinya. Aku kembali ke kantor dan menuju tempat duduk. Aku membuka
brosur dan kupelajari semua ketentuan yang ada dalam buku panduan olimpiade
tersebut.
Untuk membantu meringankan tugas dan juga
saling berbagi ilmu, maka aku mengajak serta Ibu Yose kebetulan satu paralel denganku. Kami
berdua adalah guru kelas 5. Sosok Ibu Yose adalah seorang guru yang pendiam,
berbicara hanya jika penting saja, dan yang terpenting beliau mau bekerja sama
dan mau belajar. Kami pun berbagi tugas untuk membimbing anak-anak olimpiade
PPKn tersebut. Bekerja sama dengan Ibu Yose sangat menyenangkan. Sampai suatu
ketika, saya membaca kembali brosur tersebut, di dalamnya tertera bahwa guru
pembimbing mata pelajaran PPKn juga boleh mengikuti perlombaan yaitu “Lomba
Guru Mengajar”. Tertegun sesaat sembari menatap brosur tersebut. Hatiku pun
bertanya; “Bisakah aku mengikutinya?” akhirnya keputusan itu kuambil, walaupun
dalam keraguan. Aku mengajak Ibu Yose untuk ikut serta dalam perlombaan
tersebut, ternyata beliau merespon dengan baik ajakan itu. Kami pun mempelajari
segala hal yang harus dipersiapkan dalam perlombaan itu.
Pelaksanaan Olimpiade PPKn-8 berlangsung
satu minggu dimulai dari Senin, 18 Februari-Sabtu, 23 Februari 2019. Cabang
lomba yang didaftarkan kami ikuti dengan baik. Untuk kategori siswa kami cukup
puas berada pada peringkat 6 untuk tes tertulis dari 80 peserta dan peringkat 5
besar dari 50 peserta untuk lomba
rangking 1. Untuk kategori guru dilombakan pada hari Jumat, 22 Februari 2019.
Kami mengikuti lomba tersebut layaknya mengajar murid di dalam kelas sendiri.
Siswa dalam perlombaan adalah mahasiswa dari FKIP Prodi PPKn dan juri kami
adalah para dosen dari prodi PPKn. Serasa kuliah lagi. Kami harus berkompetisi
dengan guru-guru dari sekolah lain di Provinsi Riau-Kepulauan Riau. Dalam
perlombaan tersebut, aku sempat berkecil hati melihat peserta lain mengajar
dengan media pembelajaran yang menggunakan teknologi internet yang sangat bagus
dan mumpuni. Sementara aku masih menggunakan media pembelajaran manual yang
dibuat atas ide sendiri. Perlombaan pun berakhir, kami pulang ke rumah
masing-masing.
Pukul 18.00 petang di hari yang sama,
handphone miliku bergetar. Hatiku pun dag…. dig….. dug…. tatkala aku melihat
layar HP bahwa yang mengirimkan WA adalah group guru mengajar. Perlahan kuambil
HP dan kubukakan pesan dalam WA. Pesan itu lumayan panjang yang berisi ucapan
selamat kepada pemenang dan undangan makan malam bapak walikota Pekanbaru
kepada seluruh pemenang Olimpiade PPKn-8 se Riau-Kepri yang diselenggarakan
FKIP Prodi PPKn Universitas Riau. Aku membaca kalimat demi kalimat dan mataku
terhenti pada dua nama yang tertera dalam pesan itu yaitu pemenang lomba
mengajar guru, juara 1 diraih oleh Maria Yasinta Datu dan juara 3 diraih oleh
Yoselina Br Silaban. Aku langsung teriak dan melonjak kegirangan begitu pun
rekan aku Ibu Yose. Waoooooww….rasa tak percaya! I don’t know what else to say……..
I am very speechless.
Tibalah saatnya keesokan hari Sabtu, 23
Februari 2019 aku dan rekanku Ibu Yose berangkat ke Kampus FKIP Prodi PPKn
Universitas Riau untuk pengambilan hadiah dan sertifikat. Sebelum pembagian
hadiah berlangsung, semua pemenang lomba Olimpiade PPKn-8 se Riau-Kepri
mengikuti sosialisasi 4 Pilar MPR RI. Sosialisasi berlangsung selama kurang
lebih 2 jam. Setelah itu berlanjut pembagian hadiah untuk 15 cabang olimpiade
PPKn-8 yang diikuti oleh 900 peserta se Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Satu per
satu juara cabang lomba dibacakan. Yang ditunggu-tunggu pun datang. Pembacaan pemenang
lomba Olimpiade PPKn-8 cabang guru mengajar. Sesaat jantungku berdegup kencang
sekali, manakala namaku disebut sebagai juaranya. Aku pun maju ke podium
menerima penghargaan berupa piala dan amplop berisi uang pembinaan. Saat Wakaprodi
PPKn menyerahkan Piala, tak ku sangka tangan dan sekujur tubuhku bergetar
seolah-olah terjadi gempa dengan skala richter yang kecil. Aku berpikir
ternyata seperti ini ya rasanya jika menjadi pemenang. Serasa sekujur tubuh
ikut merasakan keberhasilan itu.
Untuk mengabadikan moment yang menurutku
langka, maka aku dan rekanku membingkai kebahagiaan kami dengan berfoto
bersama. Rasanya tidak afdol kalau zaman sekarang dimana orang menyebutnya
zaman milenial kebahagiaan hanya
dirasakan sendiri, maka kami berdua masing-masing mengunggah moment tersebut ke
facebook. Ratusan ucapan selamat pun kami dapatkan. Tidak hanya oleh sesama
rekan guru dari tempat aku bekerja, namun dari jauh pun baik yang ku kenal
maupun tidak ikut memberikan ucapan selamat buatku. Namun aku sadar bahwa semua
keberhasilan ini jangan sampai membuat kita menjadi sombong, karena di atas
langit masih ada langit. Keberhasilan ini membuatku tersadar bahwa jika kita
ingin berhasil maka lakukanlah dengan niat dan usaha yang baik serta strategi
yang terarah, niscaya apa yang kita impikan akan terwujud satu per satu. Berserahlah
diri pada Tuhan. Tetaplah rendah hati dan teruslah belajar. Long life
education. Jadilah seperti ilmu padi “Semakin berisi semakin merunduk”, maka
percayalah hasil yang kita dapatkan tidak pernah mengkhianati proses. Jalani hidup
ini seperti air mengalir. Jangan banyak mengeluh, karena sebenarnya hidup kita
sudah diatur oleh yang kuasa.
#Perawang, 28 Februari
2019#