SEPENGGAL
TENTANG RABU ABU
Oleh
: Maria Yasinta Datu, S.Pd
“Hanya
debulah aku, di alas kaki-Mu Tuhan. Hauskan titik embun, sabda penuh ampun. Tak
layak aku tengadah menatap cahyaMu. Tak pantas aku menghadap di depan altarMu.”
Sepenggal
lagu yang sering dilantunkan saat Rabu Abu itu tiba. Lirik yang mengandung
makna yang begitu menyentuh setiap insan manusia. Bahkan ketika kita
menyanyikan dengan penghayatan yang mendalam, memaknai kata demi kata, kita
bisa meneteskan air mata. Menyadarkan kita bahwa kita hanyalah manusia yang
tidak sempurna, penuh dengan dosa, penuh dengan kedustaan, penuh dengan
kemunafikan, penuh dengan kemurkaan, dan banyak lagi yang lain. Walau aku tak
pantas menghadap altar-Mu, namun Engkau selalu merangkulku dan merengkuhku
dalam dekapan kasih-Mu yang begitu dalam.
Rabu
Abu merupakan hari pertama dari masa prapaskah dalam liturgi tahunan grejawi.
Rabu Abu diadakan setiap hari Rabu, 40 (empat puluh) hari sebelum hari Paskah
tiba. Pada hari itu biasanya umat Katolik pergi ke gereja untuk mengikuti misa
atau ibadat Rabu Abu. Umat diberi tanda salib dengan abu yang sudah diberkati
pada dahi sebagai simbol pengingat umat manusia akan tanda kesedihan,
penyesalan yang mendalam, serta pertobatan.
Rabu
Abu bisa dikatakan sudah benar-benar kita pahami jika melakukan puasa dengan
menahan hawa nafsu serta berpantang dan juga tidak berbuat dosa lagi serta
semakin peduli dengan sesama kita. Bagi umat Katolik, puasa dan pantang
merupakan tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita
mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus Kristus di kayu
salib.
Hari
puasa diadakan hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Pantang dilakukan pada hari Rabu
Abu dan 7 Jumat selama masa Prapaskah sampai dengan Jumat Agung. Secara Yuridis,
Puasa berarti makan kenyang sekali
sehari. Pantang kita memilih makanan atau minuman yang paling kita sukai
sehingga pada masa prapaskah kita tidak mengonsumsinya. Pantang tidak harus
dalam bentuk makanan atau minuman melainkan juga perbuatan yang merupakan
kebiasaan kita, itu pun bisa menjadi tantangan buat kita, apakah kita mampu
melakukan perbuatan pantang saat prapaskah ini.
Secara
manusiawi mungkin kita tidaklah sanggup menjalani semua itu. Namun sebagai
orang beriman yang percaya akan kasih Yesus Kristus maka hal itu sanggup kita
lewati. Puasa dan pantang harus diiringi dengan niat dan usaha yang tulus. Niat
untuk lebih mengasihi sesama, niat untuk selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap
perkara hidup, dan berusaha untuk menguasai tubuh serta pikiran kita dengan
berbuat hal kecil yang berimbas baik kepada sesama. Untuk itu, agar kita layak
dan pantas di hadapan Tuhan, dalam masa prapaskah ini kita diajak untuk
bersedekah, berdoa, berpuasa menuju pertobatan yang hakiki.
#Perawang, 6
Maret 2019#
(Selamat
menjalankkan masa prapaskah)
Selamat hari rabu abu juga mo
BalasHapusMantab bu May..... semangat terus menulis ya.... boleh tuh ditambah lagi..ILUKE YOU.
BalasHapus